Payakumbuh, liputansumbar.com
Proyek rehabilitasi dan pengendalian banjir Batang Agam yang tengah dikerjakan oleh Satuan Kerja SNVT Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Wilayah Sungai Sumatera Barat menuai sorotan tajam dari publik. Dugaan penggunaan material pasir ilegal dari aliran Sungai Batang Agam menimbulkan kekhawatiran serius dari masyarakat, pengamat kebijakan publik, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Proyek senilai Rp 42,88 miliar ini berjalan berdasarkan kontrak Nomor HK 0201-BWS5.8.1/02/2025 tertanggal 14 April 2025, dengan masa pelaksanaan 262 hari kalender. PT. Bina Cipta Utama dipercaya sebagai kontraktor pelaksana, sedangkan PT. Sarana Bhuana Jaya KSO PT. Indra Jaya (Persero) KSO PT. Rancang Mandiri bertindak sebagai konsultan supervisi.
Namun, hingga awal Juni 2025, progres proyek masih minim dan belum diumumkan secara resmi. Di tengah lambannya progres, mencuat dugaan bahwa material konstruksi berupa pasir dan batu diambil langsung dari Sungai Batang Agam, tanpa izin resmi dan prosedur yang sah.
Warga sekitar menyebutkan bahwa mereka melihat aktivitas pengambilan pasir menggunakan alat berat langsung dari tepian sungai. “Tidak pernah ada papan proyek atau dokumen yang menunjukkan asal material. Aktivitas alat berat terus berlangsung tanpa pengawasan yang jelas,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Minimnya transparansi memperkuat kecurigaan publik. Tidak adanya plang proyek yang mencantumkan sumber material serta ketiadaan audit lingkungan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap proyek yang seharusnya membawa manfaat.
Pengamat kebijakan publik, Tasrif, SH, atau yang akrab disapa Om Sai, menilai bahwa praktik tersebut sangat berbahaya. “Kalau benar pasir diambil dari sungai tanpa izin, itu pelanggaran serius. Bukan hanya melanggar Undang-Undang Minerba, tapi juga Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 serta aturan turunannya dalam PP No. 22 Tahun 2020 dan PP No. 14 Tahun 2021,” ujarnya.
Ia menegaskan, proyek strategis nasional harus dijalankan dengan penuh integritas dan kepatuhan hukum. “Jika terbukti, pelaksana bisa dijerat pidana sesuai Pasal 362 dan 363 KUHP tentang pencurian dan pemberatan,” lanjutnya.
LSM juga telah memperingatkan risiko penggunaan material ilegal dalam proyek-proyek besar. Di Sumbar, kasus serupa telah beberapa kali berujung pada tindakan hukum terhadap penambang ilegal.
Kritik juga datang terhadap lemahnya pengawasan dari pihak-pihak terkait. Masyarakat mendesak aparat penegak hukum, terutama Polres Payakumbuh dan Dinas Lingkungan Hidup, untuk:
Melakukan penyelidikan menyeluruh atas dugaan penggunaan material ilegal.
Meminta dokumen izin tambang sebagai bukti legalitas pasir.
Melakukan audit lingkungan terhadap dampak kegiatan terhadap morfologi sungai.
Memasang plang proyek yang mencantumkan sumber dana, pelaksana, dan asal material.
Wali Kota Payakumbuh, Zulmaeta, dalam kunjungannya ke lokasi proyek menegaskan pentingnya integritas dalam pelaksanaan pembangunan. “Jangan coba-coba ada oknum bermain. Kalau terbukti, saya pastikan akan ditindak tegas,” ujarnya di hadapan pelaksana proyek dan jajaran pemerintah beberapa waktu lalu dalam kunjungan ke proyek tersebut.
Ia juga menyatakan komitmen Pemko Payakumbuh untuk mendukung penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. “Akuntabilitas dan transparansi adalah kunci. Proyek ini tidak boleh menjadi ancaman ekologis,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak BWS Sumatera V dan kontraktor pelaksana belum memberikan klarifikasi resmi meski telah dihubungi melalui telepon dan pesan singkat. Publik berharap agar proyek pengendalian banjir Batang Agam benar-benar dikelola secara profesional dan legal demi kepentingan lingkungan dan masyarakat luas.(ws)