Biduak Lalu, Kiambang Batauik: Realitas Politik Pasca Pemilu
Oleh : Syamsir wandi
Dalam budaya Minangkabau, peribahasa “Biduak Lalu, Kiambang Batauik” mengandung makna mendalam tentang rekonsiliasi dan persatuan setelah perbedaan atau konflik terjadi.
Ungkapan ini sangat relevan dalam konteks politik, terutama setelah pesta demokrasi usai dan pemimpin baru dilantik. Saat euforia pemilihan mereda, berbagai pihak mulai bergerak untuk mengambil peran dalam dinamika pemerintahan yang baru.
Pasca pelantikan, pemandangan yang lazim terjadi adalah bagaimana para pemain politik berlomba-lomba mendekati pemimpin yang baru saja naik takhta.
Fenomena ini bukan hal baru dalam dunia politik, di mana berbagai kepentingan mulai bermunculan. Ada yang berusaha mengambil posisi strategis demi mendapatkan proyek, ada yang sekadar ingin menonjolkan diri sebagai tokoh berpengaruh, dan ada pula tim sukses yang merasa berhak atas bagian dari kemenangan tersebut.
Mereka yang sebelumnya bersikap kritis, kini mulai mencari cara untuk mendekat dan memperoleh keuntungan politik.
Di warung-warung kopi dan lapau, cerita-cerita politik menjadi topik utama. Para pemain politik yang dulu vokal mengkritik, kini berubah menjadi pencari muka, berusaha mendapat perhatian pemimpin yang baru saja mereka dukung atau bahkan lawan sebelumnya.
Ada yang mengandalkan koneksi lama, ada yang membangun narasi baru, dan ada pula yang sok paten dengan berbagai cerita sukses yang diklaim sebagai hasil kerja keras mereka.
Fenomena ini seperti pahlawan kesiangan yang tumbuh bak jamur di musim hujan, bermodalkan urat malu untuk mencari kesempatan.
Namun, kenyataan sering kali tidak seindah ekspektasi. Ketika keinginan yang diharapkan tidak kunjung didapat, ketika janji-janji politik tidak terpenuhi, dan ketika kedekatan dengan penguasa ternyata tidak memberikan keuntungan yang diharapkan, kekecewaan pun muncul. Fenomena “Batuang Tumbuah di Ateh Batu” mulai terjadi, di mana orang-orang yang dulu begitu bersemangat mendukung kini justru merasa ditinggalkan.
Mereka yang tidak mendapat bagian akhirnya memilih untuk mengambil sikap oposisi, atau dalam istilah populer, “bertura-tura” (tantrum) di sepanjang hari.
Fenomena ini menunjukkan bahwa politik adalah dunia yang dinamis dan penuh intrik. Sementara sebagian berhasil mengamankan posisi dan keuntungan, sebagian lainnya harus menerima kenyataan bahwa perjuangan politik tidak selalu menghasilkan apa yang diinginkan.
Namun, dalam masyarakat Minangkabau, prinsip “Biduak Lalu, Kiambang Batauik” tetap menjadi pengingat bahwa setelah kompetisi berakhir, masyarakat harus kembali bersatu demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kemajuan daerah dan kesejahteraan bersama.
Dengan memahami dan mengamalkan nilai ini, diharapkan politik tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga sarana untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua.Selamat Bertugas, semoga Amanah memimpin daerah.