Payakumbuh,liputansumbar.com
Akhir pekan di Kota Payakumbuh terasa istimewa. Suara bel sepeda tua menggema di sepanjang jalan, membawa suasana nostalgia yang menawan. Ratusan pesepeda onthel berbusana tempo dulu melintasi kampung adat, rumah gadang, taman kota, hingga ikon wisata unggulan dalam Parade Onthel Payakumbuh 2025, perayaan dua hari yang menghidupkan kembali nuansa klasik di tengah modernisasi kota.
“Parade Onthel bukan sekadar olahraga atau nostalgia, tapi cara kita memperkenalkan Payakumbuh sebagai kota yang kaya budaya, ramah wisata, dan kuliner lezat,” ujar Wali Kota Payakumbuh Zulmaeta, Minggu (9/11/2025).
Selama dua hari, 8–9 November 2025, sekitar 500 ontelis dari berbagai daerah di Indonesia — mulai dari Padang, Bukittinggi, Lampung, Jambi, Palembang, hingga Sidoarjo — ikut ambil bagian. Mereka datang dengan sepeda berusia puluhan tahun, lengkap dengan busana jadul seperti jas safari, kebaya, dan seragam pejuang. Kota Payakumbuh pun berubah menjadi panggung wisata bernuansa sejarah.
“Konsepnya menghadirkan pengalaman wisata yang berbeda. Kita ingin orang datang ke Payakumbuh bukan hanya melihat, tapi juga merasakan suasana masa lalu yang hidup kembali,” kata Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Yunida Fatwa, ketua pelaksana kegiatan.

Parade dimulai dari GOR M. Yamin yang disulap menjadi Pasa Lamo, lalu melintasi Kampung Adat Balai Kalikih, Masjid Gadang Balai Nan Duo, Tugu Onthel raksasa — ikon langka yang hanya ada dua di dunia — hingga Taman Batang Agam, ruang hijau kebanggaan warga.
Tak hanya parade, malam sebelumnya para peserta menikmati sajian seni tradisional dan kuliner lokal. Dari tarian Minang, musik saluang, rabab, hingga makanan tradisional yang mulai langka, semuanya dihadirkan dalam suasana klasik.
“Pesertanya kagum bisa mencicipi kuliner tradisional yang hampir punah. Ini jadi ajang promosi makanan lokal juga,” ujar Yunida.
Aroma masakan lokal memenuhi udara, sementara masyarakat tumpah ruah di sepanjang rute parade. Bagi Wakil Wali Kota Elzadaswarman, yang juga Ketua KOSTI Sumatera Barat, acara ini lebih dari sekadar nostalgia.
“Parade Onthel ini bukan hanya milik komunitas sepeda tua, tapi milik semua warga Payakumbuh. Insya Allah tahun depan kita gelar lagi, karena dampak ekonominya terasa nyata,” ungkapnya.
Pemerintah Kota menilai kegiatan ini sebagai model pengembangan wisata budaya berkelanjutan. Kunjungan peserta dari luar daerah meningkatkan tingkat hunian penginapan, penjualan kuliner, hingga omzet pedagang.
“Dampak ekonominya langsung terasa. Dari pedagang makanan, pengrajin, hingga tukang foto keliling, semua ikut merasakan manfaatnya,” tambah Yunida.
Wali Kota Zulmaeta menegaskan bahwa Parade Onthel menjadi bagian dari strategi membangun citra Payakumbuh sebagai kota kreatif dan ramah wisatawan.
“Melalui event budaya seperti ini, kita ingin wisatawan melihat bahwa Payakumbuh bukan hanya indah, tapi juga punya jiwa yang hidup,” katanya.
Kegiatan ini menambah daftar panjang festival kreatif yang sukses digelar di Payakumbuh. Setelah berbagai gelaran seni dan kuliner, Parade Onthel membuktikan bahwa komunitas lokal juga mampu menjadi magnet wisata tanpa promosi besar-besaran.
“Orang datang karena rasa ingin tahu, tapi pulang dengan membawa kesan tentang keramahan dan budaya Payakumbuh,” ujar Elzadaswarman.
Menjelang siang, para ontelis menutup kegiatan di Pasa Lamo GOR M. Yamin dengan semangat penuh kebersamaan.
Parade Onthel Payakumbuh 2025 bukan sekadar perayaan sepeda tua — tapi simbol bahwa di tengah gempuran modernitas, tradisi dan nilai-nilai lokal tetap bisa menjadi daya tarik wisata paling tulus dan berkesan.
“Pariwisata tak selalu harus glamor. Cukup dengan sepeda tua, senyum warga, dan suasana tempo dulu, sebuah kota bisa menjadi destinasi yang tak terlupakan,” pungkas Wako Zulmaeta.(ws)








