Cost Politik dan Money Politik: Antara Polemik, Pembiaran, dan Legitimasi yang Keliru
Penulis: Wandi syamsir
Dalam setiap ajang pemilu, istilah cost politik dan money politik selalu menjadi perbincangan hangat. Tidak hanya menjadi bahan diskusi di kalangan akademisi dan aktivis demokrasi, tetapi juga sering digunakan sebagai senjata oleh para tim sukses dalam membela diri dari berbagai tuduhan. Yang lebih mengkhawatirkan, masyarakat sering kali mengamini praktik ini, membiarkannya terjadi, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Memahami Cost Politik dan Money Politik
Secara prinsip, cost politik merujuk pada pengeluaran sah yang diperlukan untuk menjalankan proses politik secara legal dan transparan. Biaya ini mencakup:
Kampanye dan Publikasi – Iklan di media massa, pemasangan spanduk, baliho, dan promosi digital.
Operasional Tim Sukses – Pengeluaran untuk membayar staf, konsultan, dan relawan.
Sosialisasi dan Pendidikan Politik – Forum diskusi, seminar, dan kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik masyarakat.
Transportasi dan Logistik – Biaya mobilisasi untuk keperluan kampanye.
Dalam konteks ini, cost politik adalah sesuatu yang sah dan memang diperlukan dalam sistem demokrasi modern.
Di sisi lain, money politik adalah penyalahgunaan uang untuk mempengaruhi hasil pemilu. Bentuknya antara lain:
Pembagian Uang Tunai – Kandidat atau tim sukses memberikan uang langsung kepada pemilih agar memilih mereka.
Bantuan Sembako atau Barang – Menyalurkan beras, minyak, atau barang lainnya sebagai imbalan suara.
Janji Politik yang Bermuatan Transaksional – Iming-iming pekerjaan atau proyek tertentu jika kandidat menang.
Sogokan kepada Aparat atau Panitia Pemilu – Memberikan uang agar proses pemilu berpihak pada kandidat tertentu.
Money politik adalah praktik yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan merusak integritas pemilu.
Polemik dan Senjata Pembelaan Tim Sukses
Saat seorang kandidat dituduh melakukan money politik, tim suksesnya sering berdalih bahwa yang dilakukan hanyalah bagian dari cost politik. Dalih ini digunakan untuk membenarkan berbagai praktik yang sejatinya masuk dalam kategori politik uang.
Sebagai contoh, ketika seorang kandidat membagikan bantuan sosial menjelang pemilu, tim sukses akan mengatakan bahwa itu adalah bentuk kepedulian, bukan suap politik. Padahal, jika pemberian tersebut bertujuan untuk mempengaruhi suara pemilih, maka itu sudah termasuk money politik.
Tidak jarang juga, alasan tingginya cost politik digunakan untuk melegitimasi praktik money politik. Kandidat merasa harus mengeluarkan banyak uang untuk bersaing, sehingga mereka akhirnya terjerumus dalam praktik transaksional demi mengamankan kemenangan.
Ironi: Masyarakat Mengamini dan Membiarkan
Yang lebih mengejutkan, fenomena ini tidak hanya menjadi perdebatan di kalangan elit politik, tetapi juga diamini oleh masyarakat luas. Beberapa alasan mengapa masyarakat cenderung membiarkan money politik terjadi, antara lain:
Anggapan bahwa Politik Uang adalah Hal Biasa – Banyak masyarakat yang sudah terbiasa menerima uang atau barang dari kandidat setiap pemilu.
Keputusan Politik yang Pragmatis – Pemilih lebih memilih menerima uang daripada menunggu janji kampanye yang belum tentu terealisasi.
Minimnya Kesadaran akan Dampak Jangka Panjang – Masyarakat tidak menyadari bahwa money politik melahirkan pemimpin yang tidak kompeten dan korup.
Ketidakpercayaan terhadap Sistem Politik – Banyak yang berpikir bahwa semua politisi pada dasarnya sama, sehingga tidak ada ruginya menerima uang yang diberikan.
Dampak Buruk yang Luput dari Perhatian
Money politik tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga membawa dampak negatif yang lebih luas, seperti:
Meningkatkan Biaya Politik Secara Tidak Sehat – Kandidat yang ingin bersaing harus mengeluarkan dana lebih besar, sehingga hanya mereka yang memiliki modal kuat yang bisa bertarung.
Melahirkan Pemimpin yang Tidak Berintegritas – Politisi yang terpilih dengan cara transaksional cenderung mencari cara untuk “balik modal” setelah berkuasa.
Merusak Prinsip Demokrasi – Pemilih tidak lagi memilih berdasarkan visi dan program, tetapi semata-mata karena uang atau bantuan yang diterima.
Menanamkan Siklus Korupsi – Pemimpin yang terpilih karena money politik akan lebih fokus mengamankan kepentingannya sendiri daripada melayani masyarakat.
Haruskah Kita Terus Membiarkan?
Jika money politik terus dibiarkan dan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, maka demokrasi akan semakin terdegradasi. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk melawan praktik ini:
Meningkatkan Kesadaran Masyarakat – Edukasi politik harus diperkuat agar masyarakat memahami bahwa politik uang merugikan mereka dalam jangka panjang.
Menegakkan Hukum Secara Tegas – Sanksi terhadap pelaku money politik harus diterapkan tanpa pandang bulu.
Mendorong Transparansi Dana Kampanye – Semua pengeluaran kampanye harus diaudit dan dipublikasikan kepada masyarakat.
Membangun Budaya Politik yang Bersih – Partai politik harus berkomitmen untuk tidak menggunakan money politik dalam proses pencalonan dan kampanye.
Kesimpulan
Cost politik dan money politik adalah dua hal yang berbeda, tetapi sering digunakan secara tumpang tindih untuk membenarkan praktik yang sebenarnya mencederai demokrasi. Sayangnya, money politik tidak hanya dilakukan oleh politisi, tetapi juga diamini oleh masyarakat yang menerima dan membiarkannya terjadi.
Jika kita ingin demokrasi yang sehat dan pemimpin yang berintegritas, maka money politik harus dihentikan. Tidak cukup hanya dengan menegakkan hukum, tetapi juga dengan membangun kesadaran kolektif bahwa politik uang bukanlah sesuatu yang wajar, melainkan penyakit yang harus diberantas bersama.