Politik Uang: Cerminan Krisis Demokrasi dan Apatisme Masyarakat
Penulis : Wandi syamsir
Dalam setiap kontestasi politik, isu politik uang terus menjadi momok yang menggerogoti kualitas demokrasi. Tidak jarang, politisi menggunakan taktik “membeli” suara rakyat dengan dalih ribuan mandat saksi, mengubah persepsi masyarakat bahwa tindakan tersebut bukanlah money politics. Strategi ini sering kali dirancang untuk meraih kemenangan, terutama ketika mereka menghadapi lawan politik yang lebih kuat.
Namun, ketika hasil tidak berpihak pada mereka, sering kali muncul reaksi keras berupa protes terhadap aturan yang mereka anggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Ironisnya, banyak dari mereka yang justru berkontribusi dalam menciptakan praktik yang merusak demokrasi itu sendiri.
Di tengah realitas ini, masyarakat kian menunjukkan sikap apatis terhadap proses politik. Alih-alih memandang politik sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan, banyak yang mulai menganggapnya sebagai arena permainan janji yang tidak pernah ditepati.
“Daripada mencoblos tanpa hasil, lebih baik terima saja uangnya,” adalah ungkapan yang mencerminkan kondisi ini. Ide dan gagasan calon pemimpin menjadi sesuatu yang diabaikan, karena masyarakat merasa kehidupan mereka tidak akan berubah, siapa pun yang memimpin.
Politik uang tidak hanya merusak integritas proses pemilu, tetapi juga menciptakan lingkaran setan ketidakpercayaan antara rakyat dan pemimpin. Para politisi yang terpilih melalui praktik ini cenderung lebih fokus pada upaya mengembalikan “modal” mereka daripada melayani masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat.
Sementara itu, masyarakat yang telah terbiasa dengan “serangan fajar” juga kehilangan motivasi untuk berpartisipasi aktif dalam politik yang sehat. Demokrasi, yang seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan bersama, berubah menjadi transaksi jangka pendek yang merugikan semua pihak.
Untuk memutus siklus ini, dibutuhkan kesadaran kolektif dari semua pihak. Politisi harus berhenti memanfaatkan celah dalam sistem untuk kepentingan pribadi, sementara masyarakat perlu memahami pentingnya peran mereka dalam menentukan masa depan melalui pemilu yang bersih dan jujur.
Selain itu, pendidikan politik perlu digalakkan, agar masyarakat memahami bahwa suara mereka adalah amanah yang harus digunakan dengan bijak. Ide dan gagasan calon pemimpin harus kembali menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan, bukan uang yang diterima sesaat.
Demokrasi bukanlah sekadar proses pemilu, tetapi komitmen bersama untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Jika kita terus membiarkan politik uang menguasai, maka demokrasi sejati akan semakin jauh dari jangkauan.