Payakumbuh,liputansumbar
Penetapan lima misi utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 oleh Pemerintah Kota Payakumbuh menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat sipil. Meski digadang-gadang sebagai fondasi arah pembangunan lima tahun ke depan, sejumlah kalangan menilai misi tersebut terlalu normatif dan tidak menjawab persoalan nyata di lapangan.
Dalam Musrenbang yang digelar di Aula Ngalau Indah, Senin (5/5), Pemko memaparkan lima misi yang mencakup penguatan SDM, ekonomi kompetitif, pemerintahan profesional, nilai budaya dan keimanan, serta tata kota berkelanjutan. Namun, sejumlah aktivis mempertanyakan indikator keberhasilan dan keberanian pemerintah menyasar isu-isu kritis seperti pengangguran, konflik lahan, serta lemahnya pengawasan anggaran dan Internal.
“Visi itu bagus di atas kertas, tapi apa jaminannya itu tidak menjadi dokumen formalitas belaka? Kita sudah sering melihat RPJMD disusun megah tapi pelaksanaannya tidak menyentuh kebutuhan dasar ,” ujar Herman, tokoh masyarakat
Kritik juga datang dari kalangan Kalangan Pemerhati kebijakan Publik,Hendra yani menyebut bahwa misi pembangunan ekonomi belum menyentuh akar masalah stagnasi UMKM dan dominasi pasar oleh pemain luar kota.
“Saat kita bicara iklim ekonomi kompetitif, apa artinya jika pelaku UMKM lokal tidak diberikan akses permodalan dan perlindungan dari ekspansi investor besar yang hanya mengeruk keuntungan tanpa memberdayakan warga?” katanya.
Wakil Wali Kota Payakumbuh Elzadaswarman dalam pidatonya menyatakan bahwa misi tersebut disusun dari kajian mendalam. Namun tidak sedikit yang menilai bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut masih bersifat simbolik, terutama mereka yang berada di lapisan bawah.
“Musrenbang tahunan lebih mirip seremoni daripada forum dialog. Aspirasi warga kerap tertahan di meja camat atau lurah. Lalu tiba-tiba RPJMD disusun tanpa transparansi dan riview dari internal serta rencana anggaran,” ungkap Hendra yani.
Sementara itu, DPRD menyatakan dukungan penuh terhadap RPJMD, namun kritik internal menyebut sebagian anggota dewan tidak diberikan ruang cukup untuk menggugat substansi atau efektivitas program. DPRD pun tak luput dari sorotan. Dukungan mereka terhadap RPJMD dianggap transaksional dan tidak kritis.
“Ketika rakyat butuh pengawasan, DPRD malah jadi tukang ketuk palu eksekutif,” ujar Hendra. “Dokumen RPJMD seharusnya melewati uji publik yang ketat, bukan hanya dibahas di ruang rapat Anggota DPRD Saja.”
Pernyataan dari Kemendagri yang menuntut sinkronisasi rencana daerah dan nasional juga disorot sebagai bentuk tekanan pusat terhadap otonomi daerah. “Apa gunanya Musrenbang jika akhirnya arah pembangunan hanya mengikuti garis pusat?” kata Hendra yani .
Dengan RPJMD yang akan segera diajukan menjadi Perda, sejumlah pihak menuntut agar dokumen tersebut dibuka secara transparan kepada publik sebelum disahkan. Mereka juga menyerukan agar indikator keberhasilan tiap misi diumumkan sejak awal, disertai audit per periodik dipersingkat sehingga evaluasi berjalan transparansi.
“Jangan sampai lima misi ini hanya menjadi jargon politik menjelang Pilkada ,sementara untuk menjadikan RPJMD sebagai Perda menelan anggaran yang sangat luar biasa besar” tutup Hendra yani.(ws)