Di zaman serba cepat ini, menjadi wartawan ternyata tidak lagi harus melewati jalan sunyi bernama proses. Tak perlu magang panjang, tak wajib belajar etika, bahkan riset lapangan pun kerap dianggap opsional. Cukup bermodal akta notaris, pengesahan Kemenkumham, NIB yang tersimpan rapi di folder digital, lalu kartu pers,jadilah sebuah media online. Lengkap. Sah. Terlihat profesional.
Sisanya? Sebuah telepon genggam dan aplikasi bernama ChatGPT.
Dari situ lahirlah generasi baru, wartawan sekali klik. Tidak perlu verifikasi, tidak perlu konfirmasi mendalam, apalagi memahami Kode Etik Jurnalistik. Tinggal ketik perintah, tekan enter, lalu merasa paling paham bagaimana berita seharusnya ditulis. Bukan dari hasil olah pikir, melainkan hasil kerja server di belahan dunia lain.
Ironisnya, semua ini dibungkus dengan rasa percaya diri tingkat dewa. Seakan-akan merekalah penulisnya. Seakan-akan merekalah pemilik gagasan. Padahal yang bekerja adalah algoritma, sementara manusianya sekadar operator.
Persoalannya bukan pada teknologinya. Artificial Intelligence, atau Kecerdasan Buatan (AI) adalah keniscayaan zaman. Ia alat, bukan dosa. Masalah muncul ketika alat disalahpahami sebagai identitas. Ketika teknologi dijadikan tameng untuk merasa paling Si wartawan, paling benar, dan paling berhak menyematkan label “Wartawan sejati”.
Di sinilah ironi itu mengeras.
Jurnalisme bukan sekadar teks yang rapi dan judul yang memancing klik. Ia adalah proses berpikir, keberanian bertanya, kesabaran memverifikasi, serta etika dalam menyampaikan kebenaran. Jurnalisme adalah tanggung jawab sosial, bukan hasil dari perintah instan tanpa konteks dan dampak.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian oknum hadir di lapangan bukan untuk menggali fakta, melainkan sekadar memastikan keberadaan agar terlihat “aktif”. Konfirmasi berubah menjadi transaksi. Pejabat yang diam dicap pelit tidak koperatif dan menghalangi kerja wartawan dan siap “dihantam”. Pejabat yang sering berbagi dipuji sebagai sosok yang baik. Ada pula yang berlagak investigatif, memburu proyek bukan untuk kepentingan publik, melainkan mencari rekanan yang mau berbagi. Baik atau buruknya berita, sering kali bergantung pada kemurahan hati narasumber.
Mental seperti ini perlahan menggerus kepercayaan publik. Profesi wartawan terlihat murah, bisa dibeli, dicetak, dan diproduksi massal. Seolah siapa pun bisa menjadi wartawan, asal memiliki kartu pers dan koneksi internet.
Yang lebih berbahaya, mereka merasa paling otentik, padahal justru sedang merusak integritas wartawan sesungguhnya. Wartawan yang bekerja di lapangan, yang berkeringat, yang berdebat dengan nurani sebelum menekan tombol “publish”
Peran redaktur yang seharusnya bertanggung jawab terhadap isi pemberitaan, kini dirubah menjadi wartawan merangkap Admin, dan hebatnya lagi bisa metakedown berita alias 404 yang sejatinya itu di haramkan sebagai media yang kridibel.
Akhirnya, publik kebingungan. Mana wartawan, mana sekadar pengetik. Mana jurnalisme, mana konten.
Dan di tengah riuh itu, jurnalisme yang sesungguhnya kembali diuji, bukan oleh kekuasaan,melainkan oleh mereka yang mengaku si paling wartawan,tanpa pernah benar-benar memahami maknanya jurnalisme.
Penulis: Wandi Syamsir








