Payakumbuh,liputansumbar
Rencana pembangunan gerbang selamat datang oleh Pemerintah Kota (Pemko) Payakumbuh di kawasan Ngalau, Kelurahan Balai Panjang, memicu polemik di tengah masyarakat adat Nagari Limbukan.senin 2 Juni 2025
Pembangunan yang ditandai dengan pemancangan awal pada Jumat, 23 Mei 2025 lalu, dihadiri oleh Wakil Wali Kota Elzadaswarman, Plh Kadis PUPR Rajman, Camat Payakumbuh Selatan Resti Desmila, serta tokoh-tokoh adat dan pemerintahan setempat.
Wakil Wali Kota menegaskan, pembangunan gerbang ini tidak dimaksudkan sebagai batas administratif, melainkan simbol penyambutan masuk ke Kota Payakumbuh yang dikenal sebagai “The City of Randang.”
Namun, Rajo Nagari Limbukan, Yanuar Ghazali, SE., menyatakan penolakan tegas. Ia menilai pembangunan ini dapat menimbulkan kesalahpahaman batas wilayah dan berpotensi memicu konflik sosial. Yanuar bahkan menyinggung kesepakatan batas kota yang telah ditetapkan pada 12 November 1970 serta disepakati ulang pada 1 Juli 2021.Batas jalan jurusan Piladang/ Bukit Tinggi, ialah di Aie Taganang atau 6,7 km dari pusat kota.
“Gerbang pasti dimaknai sebagai batas kota. Maka pembangunan ini bisa mencederai kesepakatan adat dan pemerintahan sebelumnya,pemko Payakumbuh jangan Show ,mengejar Program 100 hari halal kan segala cara” tegas Yanuar Ghazali.
Senada dengan itu, Dt. Paduko Saruanso dari Nagari Limbukan mengungkapkan kekhawatirannya akan polemik yang mungkin timbul. Ia menyarankan agar pembangunan dilakukan di lokasi gerbang lama yang telah roboh.
Sebaliknya, suara dukungan datang dari niniak mamak Nagari Balai Panjang, Dt. Rajo nan Sati, yang menyarankan agar gerbang dibangun di dekat Padang Sikali yang secara administratif sudah masuk wilayah Balai Panjang.
Mantan Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, turut menanggapi. Ia mengingatkan agar pembangunan gerbang dilakukan dengan melibatkan semua pihak dan dilandasi nota kesepahaman (MoU) agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari, sebagaimana pernah terjadi di kawasan Piladang pada tahun 1990-an.
Polemik ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur, terutama yang berkaitan dengan simbol wilayah, harus dirancang dengan cermat dan partisipatif demi menjaga harmoni antarwilayah dan masyarakat adat.(ws)